breaking

Albantani

Kemesiran

Keazharan

Dunia Masisir

/ / Al-Azhar dari Masa Ke Masa

Share This

 Ketika pemerintahan Mesir dipimpin oleh Jauhar as-Shaqli.  Di masa pemerintahannya Jauhar mendirikan kota Kairo,  dan tidak kalah penting, serupa dengan apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin sebelumnya ia juga membangun sebuah Masjid yang kini dikenal dengan Masjid al-Azhar. Masjid ini mulai di bangun pada tahun 359 H. Masjid al-Azhar terwujud di tengah kekuasaan dinasti Fatimiyah dan pendiriannnya semasa dengan pembentukan kota Kairo sebagai ibukota baru. dari itu al-Azhar menjadi warisan termegah dinasti Fatimiyah untuk Mesir dan seluruh dunia Islam. Al-Azhar menjadi salah satu rumah Allah, berfungsi mengisi jiwa kosong dengan iman yang menuntun jiwa umat Islam menuju jalan yang lurus.

Al-AZHAR MASA DINASTI FATIMIYAH (361-567 H. : 972-1171 H.)

Pasca pembentukan kekuasaan Fatimiyah oleh Al-Mahdi Abu Muhammad Ubaidillah yang terletak di negari Maroko (Maghrib) pada tahun 297 H. (909 M.) dan menjadikan kota Qoirwan sebagai ibukotanya. Selanjutnya beralih kepada penaklukan Mesir dengan tujuan memindahkan pusat khilafah Fatimiyah ke Mesir dan pusat penyebaran faham Syiah. Selain itu tujuan lain yang ingin dicapai oleh rezim Fatimiyah terhadap Mesir adalah menjadikan Mesir sebagai titik star penyebaran rezim fatimiyah untuk mengembangkan sayapnya sampai ke timur Islam Asia dengan cara mengambil alih pemerintahan Abbasiyah.
Mesir menjadi objek agresi dinasti Fatimiyah selain karena letaknya yang strategis dan berdampingan dengan wilayah kekuasaan Fatimiyah dari arah Timur, Juga tepat untuk dijadikan wilayah Dinasti Fatimiyah dalam agenda pengalihan pemerintahannya ke Mesir, dimana pada saat itu Maroko dalam kondisi miskin, tidak mampu menopang tujuannyanya dalam strategi militer, politik dan penyebaran Syiah di seluruh peloksok Asia. Oleh karenanya Mesir secara geografis adalah sebuah wilayah yang strategis baik untuk urusan politik maupun perang.
Masa Pendirian Azhar
Al-Azhar di dirikan pada 24 Jumadil Ula 359 H. (970 M.) proses pembangunannya memakan waktu dua tahun lebih. Dibuka awal pertama kalinya untuk pelaksanaan shalat Jumat bertepatan dengan hari ke tujuh atau kesembilan puasa Ramadhan 361 H. (972 M.) pada awalnya masjid ini diberi nama Masjid Kairo, dinisbatkan kepada Ibukota baru Kairo. Dan adapun penamaan Masjid Al-Azhar baru di berikan pada dinasti Fatimiyah masa kepemimpinan Al-Aziz Billah (365-386 H.). awalnya dijuluki al-Qushur al-Zahirah (intana yang bersinar) dan kemudian dijuluki Masjid Azhar. Penamaan Masjid Azhar adalah sebagai sikap optimis akan terwujudnya Azhar sebagai Masjid yang bersinar dan menduduki posisi mulia dengan penyebaran Ilmu-ilmu. Kendati pendapat yang lebih kuat mengatakan bahwa nama ini diambil dari lafadz Az-Zahro, -Julukan Sayidah Fatimah putri Rasulullah Saw. Dan Isteri Imam Ali ra. Masjid itu akhirnya dikenal dengan nama Masjid Kairo dan Masjid Azhar. Lambat laun, nama Masjid Kairo mulai terkikis dan kini hanya dikenal sebagai Masjid Azhar.
Al-Azhar pada Dinasti Ayyubiah
Sholahuddin al-Ayyubi sejak pertama kalinya memerintah Mesir pada tahun 567 H telah membuat pergerakan untuk memerangi faham Syiah dan selanjutnya menyebarkan faham sunni. Aktivitas khutbah di al-Azhar sebagai sarana dakwah kaum syiah di hapus oleh Qodli Asy-Safi'I pada pemerintahan Sholahuddin al-Ayyubi. Yang dinamakan Shodruddin Abdul Malik bin Darbas. Karena Kaum Syafi'I tidak membenarkan adanya dua khutbah dalam satu wilayah. Maka di tetapkan masjid al-Hakim sebagai tempat untuk melaksanakn kegiatan khutbah. Dan kondisi al-Azhar sampai pada rentan waktu seratus tahun tidak digunakan untuk untuk kegiatan khutbah. Hal ini berlangsung sampai dinasti mamalik Ad-Dzhari Pipris  Al-Bundaqdari tahun 665 H. yang mengembalikan aktivitas khutbah di Masjid Al-Azhar.
Al-Azhar pada dinasti Mamalik
Tragedi yang terjadi pada dinasti Ayyubiyah tidak berdampak pada pemerintah Mamalik. Kegiatan Ilmiah berlangsung mendapat perhatian serius dari pemerintahan Mamalik. Pemeliharaan terhadap tradisi Islam dapat dilakukan ditengah bencana yang menimpa wilayah Islam bagian timur di tengah kecamuk perang dengan Mogul ((مغول. Dan posisi lemah yang menimpa lembaga-lembaga pendidikan dan masjid di Andalusia dan Maroko menjadikan Mesir sebagai objek utama bagi kaum pelajar dan ulama dari Timur dan Barat. Kairo akhirnya menjadi jantung dunia Islam, objek pengharapan kaum Arab dan dunia Islam. Dan Periode Mamalik di nobatkan sebagai Masa Keemasan bagi Masjid al-Azhar dari aspek prestasi keilmuan.
Al-Azhar pada masa al-Atrhak (Turki)
Pada prinsipnya, tugas utama al-Azhar adalah pengkhidmatan terhadap agama dan ilmu dengan sangat istimewa berikut sejumlah aktivitas besarnya. Tepatnya pada tahun 923 H. (1517 M.). Mesir mengalami bencana atas ekpansi yang dilakukan Turki Usmani terhadapnya. Sultan Salim pertama dengan antek-anteknya merampas karya-karya besar, manuskrip dan kitab-kitab berharga Mesir untuk kemudian  dikirim ke Ibukota mereka, Konstatinopel. Saat tubuh negara mengalami derita besar, secara otomatis hal serupa menimpa al-Azhar khususnya. Al-Azhar kehilangan banyak tokoh ulama, gaung al-Azhar terbungkam sepi, agenda-agenda besar al-Azhar terhenti. Aktivitas pengajaran hanya terbatas pada ranah kajian keagamaan dan bahasa Arab sedangkan disiplin ilmu yang lain terhenti, seperti halnya matematika, filsafat, medis dan ilmu lainnya. Seluruh aktivitas al-Azhar mengalami stagnasi berkepanjangan, diam tanpa gerak, sepi tanpa suara, bahkan nyaris mati terkubur.
Al-Azhar di era Kolonialisme Prancis
Tanpa harus menunggu lama, kolonial Prancis mulai memasuki Mesir, tahun 1213 H. (1798 M.) bendera kesigapan untuk melakukan penyerangan terhadap Mesir dikibarkan. Kondisi ini membangkitkan Al-Azhar dari tidurnya, Prancis hadir menelisik singa yang tengah istirahat, menggugahnya untuk bangkit berdiri, Ketika melihat adanya tekanan tajam, terjepit oleh kondisi dan insiden-insiden yang terjadi. Al-Azhar mulai melibatkan diri bersama pergerakan anti kolonial modern dengan taktik menggalang kekuatan penuh bersama rakyat, menanamkan kebencian di dalam jiwa anti kolonial Prancis. Mengambil alih komando dan berada pada barisan terdepan dengan memonopoli peranan politik negara untuk membasmi kaum kolonial. Fakta menyaksikan bahwa kebangkitan rasa nasionalisme lebih terdepan dan disusul oleh kebangkitan dunia Ilmiyah.
Perlawanan terhadap kolonial dikomadoi langsung oleh para pembesar al-Azhar dibawah pimpinan Syekh Abdullah Syarqowi selaku pimpinan tertinggi al-Azhar. Kontak senjata  Kairo terjadi dua kali dalam melawan kolonial Prancis.  Terbunuhlah Klifer -wakil Napoleon- di tangan Sulaiman al-Halabi yang berafiliasi ke al-Azhar. Tragedi ini menggoyahkan kekuatan kolonial Prancis. Kecamuk perang diakhiri dengan kemenangan Mesir atas kolonial Prancis dengan menyerahnya Jendral Mino pada bulan Rabi'ul akhir tahun 1216 H. (September 1801 M.). Prancis mundur setelah menduduki Mesir selama tiga tahun lebih, setelah membuat kaum pribumi terbebani oleh kehadiran mereka. Pada ujungnya mereka mengakui akan kemuliaan al-Azhar dan keagungan pengikutnya. 
Al-Azhar pada masa Muhammad Ali
Ketika pemerintah Mesir dipimpin oleh Muhammad Ali tahun 1220 H. (1805 M.) di awal rezimnya, Muhammad Ali rupanya tidak memberikan sikap pro terhadap al-Azhar, padahal sejatinya ulama Azhar telah mengambil peran penting dalam pencapaiannya menuju kursi pimpinan. Era kekuasaan yang disandang Muhammad Ali berhaluan tidak sama dari penguasa sebelumnya, ia mulai melakukan intervensi besar-besaran terhadap internal al-Azhar termasuk melakukan monopoli atas kebijakan sampai titik masalah yang sangat spesifik. Al-Azhar mulai kehilangan banyak hal terutama badan wakaf yang selama ini menjadi sumber keuangan telah diambil alih oleh pemerintah.

AL-AZHAR DI BAWAH REZIM KHOLIFAH UTSMANIAH (923-1213 H./1517-1798 M.)

Para sejarawan dan pengamat politik mengkaji secara serius fenomena yang terjadi seputar tindakan radikal pemerintah Usmani atas Mesir. Mereka berbicara mengenai kemunduran dan kemerosotan di tengah rezim usmani. kejadian itu tentunya memiliki pengaruh besar terhadap arus laju al-Azhar. Telaah terhadap kondisi Mesir pada Masa rezim Utsmani, para Sejarawan menyatakan bahwa al-Azhar tetap mampu mempertahankan budaya dan karakternya sebagai sarana belajar kendati berada di bawah pemerintahan Usmani. al-Azhar tetap eksis sebagai pusat pembelajaran agama, bahasa Arab, sekaligus menjadi kiblat ilmu bagi para pelajar. Begitu pula keikutsertaan para pelajar yang berdatangan dari peloksok dunia Islam tidak pernah terhenti berdatangan ke Negeri para Nabi ini, ditambah segala fasilitas yang telah tersedia, baik konsumsi, transportasi dan segala fasilitas lainnya secara Cuma-Cuma.
«
Next

Posting Lebih Baru

»
Previous

Posting Lama


Tidak ada komentar:

Leave a Reply